Hadits dengan teks yang sama serupa yang diceritakan oleh Ibn Abbas dll, dapat memahami bahwa hak menuntukan pasangan hidup / jodoh, sepenuhnya berada di tangan perempuan sendiri bukan di tentukan oleh orang lain, termasuk ayahnya sendiri.
- A. Pengertian Ijbar dan Wali Mujbir
Selama ini pandangan umum banyak yang menyatakan bahwa perempuan menurut fiqh islam tidak berhak memilih/menentukan sendiri pilihan atas pasangan hidupnya. Akan tetapi, di tentukan oleh ayahnya atau oleh kakeknya.Hal ini menimbulkan asumsi-asumsi bahwa islam membenarkan kawin paksa, hal ini dilatarbelakangi oleh pemahaman tentang apa yang dimaksud ijbar. Hak ijbar difahami oleh banyak orang sebagai hak memaksakan suatu perkawinan oleh orang lain, yang dalam hal ini adalah ayahnya.
Beberapa kata dalam bahasa arab yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yaitu paksaan/memaksa atau yang memiliki konotasi yang sama dengan itu antara lain adalah Ikroh dan Taklif (Memaksa/Paksaan/Dibebani/Diwajibkan mengerjakan sesuatu) missal dalam alquran menyebutkan :
“ Tidak ada paksaan dalam agama” (Q.S. Al-Baqarah: 256)
ž
“ kecuali orang-orang yang dipaksa, sedangkan hatinya masih beriman “ (Q.S.An-Nahl : 106)
Mengenai Taklif, Al-quran menyebutkan :
Ÿ
“ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. “ (Q.S. Al-Baqarah: 286)
- Ikroh adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu dengan adanya suatu ancaman yang membahayakan jiwa atau tubuhnya, dan mereka tidak mampu untuk melawannya. Dan hal ini tetntunyasangat bertentangan dengan kehendak hati dan fikirannya.
- Taklif adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk melakukan sesuatu. Tetapi paksaan disini adalah bentuk konsekwensi bagi diri orang tersebut untuk mengikuti / meyakini suatu keyakinan.
- Ijbar adalah suatu tindakan untuk melakukan sesuatu atas dasar tanggung jawab, dalam fiqih islam dikaitkan dengan soal perkawinan. Dalam fiqh madzhab syafii orang yang memiliki kekuasaan atau hak ijbar adalah ayahnya atau kalau tidak ada ayahnya, kakeknya. Mereka dikatakan sebagai waali mujbir karena mereka mempunyai kekuasaan/hak untuk mengawwinkan anak perempuannya, meskipun tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan, dan perkawwinan ini dipandang sah oleh hokum. Hak ijbar ditunjukkan sebagai bentuk perlindungan dan tanggung jawab ayah kepada anaknya yang masih belum memiliki kemampuan untuk bertindak.
Ijbar Dan Wali Mujbir
Istilah wali mujbir dimaknai dengan orang tua yang memaksa anaknya untuk kawin/menikah dengan pilihannya, bukan pilihan anaknya. Maka dalam masyarakat kita muncullah istilah “kawin paksa” atau memiliki konotasi ikroh, dan ijbar tidak sama dengan ikroh.
Ijbar seorang ayah lebih bersifat tanggung jawab belaka, dengan asumsi bahwa anak perempuannya belum memiliki kemampuan untuk bertindak sendiri. Dalam madzhab Syafii, istilah ijbar dikaitkan dengan beberapa syarat, antara lain :
- Tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu dengan laki-laki calon suaminya.
- Tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu kepada ayahnya.
- Calon suami haruslah orang yang sekufu/setingkat/sebanding.
- Mahar (mas kawin) harus tidak kurang dari mahar mitsil, yakni mas kawin perempuan lain yang setara.
- Calon suami diperkirakan tidak akan melakukan perbuatan/tindakan yang akan menyakiti hati perempuan itu.
Ikroh dapat dikatakan sebagai pemaksaan kehendak dalam menentukan pilihan. Dalam pandangan fuqoha, pemaksaan suatu ikroh menyebabkan ketidakabsahan suatu pernikahan. Wahbah Az-Zuhaili, dengan mengutip pendapat para ulama mazhab fiqh, mengatakan :
“Adalah tidak sah perkawinan dua orang calon mempelai tanpa kerelaan mereka berdua. Jika salah satunya dipaksa secara ikroh dengan suatu ancaman misalnya memukul, membunuh, atau memenjarakan, maka akad pernikahan tersebut menjadi fasad (rusak)”. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami, Juz IX hal : 6567.
- B. Hak Mengawinkan
Siapakah yang berhak mengawinkan anak perempuan ? dan siapakah yang berhak mengucapkan ijab dalam perkawinan ?
Ada dua pendapat/pandangan :
- Diwakili oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Zufar, Al-Auza’I, dan Malik bin Anas, dalam suatu riwayat mengatakan : “Bahwa wali tidak berhak mengawinkan anak perempuannya baik janda maupun gadis dewasa.” Dewasa dalam bahasa arab AL-Balighah Al-Aqilah (baligh dan berakal).
Menurut mereka pelaku kawin adalah perempuan itu sendiri baik janda maupun gadis. Jadi bukan walinya. Hal ini ditegaskan dalam hadits Nabi SAW mengatakan :
“ perempuan janda lebih berhak atas dirinya, daripada walinya perempuan gadis diminta izinnya dan izinnya adalah diamnya”. (H.R.Bukhari)
Sebenarnya kesamaan gadis dan janda terletak pada kedewasaannya. Bukan pada statusnya. Kedewasaan seseorang memungkinkan dirinya untuk menyampaikan secara eksplisit tentang sesuatu yang ada adalam hati dan fikirannya, dapat melakukan hal dengan terbuka, tidak malu-malu. Bagi mereka tujuan perkawinan ada dua sisi, yaitu primer dan skunder. Primer adalah tujuan utama dari sebuah perkawinan adalah hubungan seksual dan kemandirian dan itu menjadi hak perempuan sendiri. Sedangkan tujuan skunder adalah hubungan kekerabatan /keluarga, dan tujuan skunder ini bias melibatkan keluarganya.
Atas dasar itu semua, maka hak untuk menentukan jodoh dan melakukan pernikahan adalah perempuan pribadi. Perkawinan yang dilakukan oleh wali, yakni ijabnya diucapkan oleh wali, dinyatakan sah setelah mendapat persetujuan dari calon mempelai wanita. Bahkan perkawinan yang dilakukan oleh wali ini, menurut pendapat ini dipandang sunah, baik dan berpahala.
- Dikemukakan oleh As-Syafii, Malik bin Anas menurut riwayat yang lain dari Asyhab, Sufyan Atsauri, Ishak bin Rahuyah (Rahawaih), Ibnu Syubrumah, dan Ibnu Hazim. Berpendapat bahwa akad nikah yang ijabnya dilakukan perempuan baik janda maupu gadis , adalah tidak sah. Pendapat ini didasarkan pada sejumlah ayat alquran yaitu Q.S.Al-Baqarah 221 dan Q.S.An-Nur :32.
Dari dua ayat diatas menunjukkan tentang perintah Tuhan kepada para wali untuk mengawinkan anak perempuan mereka . jadi, pelaku yang mengawinkan dalam hal ini adalah walinya, bukan perempuan yang bersangkutan , ada juga argument lain dari hadits Nabi SAW yang artinya : “ Dari Aisyah : Nabi SAW mengatakan : “perempuan siapa saja yang kawin tanpa wali maka kawinnya batal, batal, dan batal. Apabila ia telah melakukan hubungan seksual maka dia berhak atas mahar mitsil (mas kawin sepadan) karena menganggap halalnya hubungan seks itu. Jika mereka bermusuhan maka yang menjadi wali bagi perempuan yang tidak ada walinya adalah “sultan” (pemerintahan/hakim)” , (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Yang dimaksud “tidak ada kawin kecuali oleh wali” ialah tidak sahnya suatu perkawinan kecuali oleh wali. Dan kenyataannya dalam masyarakat ialah dilakukan dengan wali. Tetapi menurut Abu Hanifah pernikahan tanpa wali tetap sah, walaupun tidak sempurna.
Indikasi kerelaan perempuan dalam perkawinan faktor kerelaan atau ridha menjadi hal yang sangat mendasar bagi akad pernikahan, lantas bagaimana kita mengetahui bentuk kerelaan pada perempuan menurut para pakar fiqh ?
Bagi Abu Hanifah dan Abu Yusuf , kerelaan seorang perempuan untuk dikawinkan dengan laki-laki ialah pada kedewasaannya. Kedewasaan adalah sisi yang diukur apakah ia sudah baligh dan berakal atau belum, dan tidak memandang status apakah gadis atau janda. Maka ia berhak mengucapkan sendiri ijabnya/berhak pula mewakilkannya kepada orang lain.
Bagi Asy-Syafii dan mayoritas ulama berpendapat bahwa kerelaan hanya dapat dipastikan dengan melihat status yaitu gadis atau janda. Pada perempuan janda kerelaan diungkapkan secara terbuka, terang-terangan, sedangkan pada perempuan gadis sebaliknya, tertutup dan malu-malu, dan mungkin kerelaannya ada pada diamnya, tersenyum atau cara yang lain yang dianggap sebagai sikap menyetujui.
Pertanyaannya, kenapa kerelaan janda lebih terbuka dibanding gadis lebih tertutup ? bagi golongan pertama hal yang paling mendasari keterbukaan perempuan janda dan ketertutupan gadis perempuan ialah kebalighan dan kedewasaannya sendiri. Sedang seorang janda lebih berani mengungkapkan pendapatnya secara terus terang, sementara menurut golongan kedua keterbukaan seorang janda lebih disebabkan oleh pengalamannya dalam perkawinan. Hal ini berbeda dengan perempuan gadis yang sama sekali belum memiliki pengalaman dalam pernikahan dan mereka seringkali sulit dalam mengemukakan pendapatnya secara terang-terangan .
Al-Qorafi seorang pakar fiqh terkemuka dari madzhab Maliki mengemukakan perbedaan antara urusan seksual dan urusan ekonomi bagi perempuan. Pertama, urusan seksual bagi perempuan dipandang lebih penting dan berharga daripada harta benda. Kedua, relasi seksual seseorang seringkali dilandasi oleh kepentingan hawa nafsu. Ketiga, kerugian yang terjadi akibat kekeliruan dalam relasi seksual tidak hanya dirasakan deritanya oleh perempuan yang menjadi korban semata, tetapi juga orang lain terutama orang tuanya (wali). Golongan ini juga berpendapat bahwa kedewasaan seseorang yang membuat dia bersikap terbuka dan mampu memandang persoalan secara cerdas. Kecerdasan keberanian, kepentingan, moralitas, pergaulan, dan kedudukan social adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kedewasaan seseorang.
- C. Pendekatan Wali
Dalam fiqh disebut “Adhl Al Wahy” apabila seorang perempuan dewasa sudah menentukan pilihan jodohnya yang sepadan, dapatkah wali karena alasan tertentu menolaknya? Pada dasarnya penolakan wali dilarang oleh agama. Menurut Abu Hanifah bahwa penolakan wali mengawinkan anak perempuannya boleh dilakukan hanya apabila mas kawin yang diberikan calon suami kurang dari mahar mitsil, sebab, hal ini disamping merugikan perempuan juga merendahkan martabatnya.
Kalangan Syafiiyah dan Hanabilah, Abu yusuf dan Muhammad Hasan murid utama Abu Hanifah berpendapat bahwa larangan wali menolak mengawinkan putrinya hanya dibatasi untuk alasan kurang/sedikit/ kecilnya mas kawin, bagi mereka soal mas kawin adalah hak perempuan sendiri terserah mau menerima atau menolaknya. Wali dalam hal ini tidak boleh ikut campur. Tetapi apabila penolakan ini dilakukan karena alasan tidak sekufunya calon pria, maka mazhab ini membolehkannya. Begitu juga sebaliknya. Abu Ishak As-Syairozi menentukan pilihannya yang kufu, lalu wali menolak mengawinkan maka perkawinan dilaksanakan oleh sultan (pemerintah/pengadilan agama).
Najib Al-Muthi’i menambahkan argumen Asy-Syirazi :
“ Perkawinan adalah hak perempuan. Apabila hal ini tidak dapat dilaksanakan oleh wali, maka hakim pengadilan agama wajib mengambil alih tugas wali. Ini sama saja dengan kasus utang. Jika seseorang mempunyai utang kepada orang lain dan tidak mampu membayar, maka kewajiban melunasi menjadi tanggung jawab pemerintah,”
Fiqh perempuan
Oleh
DEDE KUSWOYO
1 komentar:
Assalamualaikum... info yang baik... salam dari Malaysia
Posting Komentar